FAUNA BADAK HARUS KITA LINDUNGI BERSAMA
BADAK
1.1 Deskripsi Badak
Badak (Inggris: rhinoceros atau rhino)
adalah lima spesies
hewan dari famili Rhinocerotidae, ordo Perissodactyla
yang kesemuanya berasal dari Afrika atau Asia. Famili ini memiliki karakteristik: berukuran besar,
dapat mencapai lebih dari satu ton; satu atau dua cula di bagian tengah dahi, yang jika
berjumlah dua, salah satu terletak di depan yang lainnya (tidak bersisian); herbivora;
kulit
tebal, 1.5 - 5 cm, terbentuk dari lapisan kolagen.
Badak memiliki indra pendengaran dan penciuman yang tajam, tapi tidak dapat
melihat jauh. Sebagian besar badak dapat hidup melebihi 40 tahun.
Walaupun termasuk herbivora,
badak adalah hewan yang berbahaya. Di India dan Nepal, badak merupakan
penyebab utama kematian manusia, melebihi yang jumlah yang disebabkan oleh harimau
dan macan tutul.
Badak bahkan diketahui pernah menyerang gajah pembawa wisatawan.
1.2 Filosofi Badak
Badak adalah bukti satwa dari sisa zaman dinosaurus.
Saat kehidupan dinosaurus dan yang lainnya punah akibat perubahan iklim yang
sangat drastis, badak dan beberapa satwa lainnya seperti komodo masih
terselamatkan dan terpelihara dengan baik keberadaannya. Mereka berevolusi
sesuai dengan zamannya tetapi tidak meninggalkan bentuk dan ciri dari nenek
moyang mereka. Badak purba dahulunya berbadan cukup besar dan berbulu
lebat, hal ini masih dapat kita lihat pada jenis badak Sumatera dengan adanya
bulu yang ada di sekujur tubuhnya walaupun mempunyai tubuh yang lebih kecil.
Badak terkenal dengan dengan tubuhnya yang tegap dan
kuat dengan cula yang ada di kepalanya. Dengan kekuatan dan ketegapan yang dia
miliki, badak dapat berjalan berkilo-kilo jauhnya dalam sehari untuk mencari
makan demi memenuhi kebutuhannya. Makanan yang dicari adalah pucuk-pucuk daun
muda dan secara tidak langsung mereka berfungsi membuat regenerasi hutan dengan
tumbuhnya pucuk-pucuk daun baru bekas makanannya.
Mereka berjalan mengitari hutan dengan tenang dan
tanpa pamrih serta tentu saja tanpa ada terlihat suatu kesombongan. Mereka
berjalan dengan menunduk dengan tenang terkesan merendah (tidak
congkak). Selain itu mereka membawa manfaat yang tak tertandingi bagi
keberlangsungan suatu hutan.
Badak yang sangat suka berkubang menjadi agen penyebar
benih dan membawa biji-biji hutan yang melekat ditubuhnya. Kemampuannya
untuk berjalan sampai berkilo-kilo jauhnya sangat berarti dalam menyemaikan
benih-benih di lantai-lantai hutan sebagai media tumbuh yang menguntungkan bagi
“Sang Benih”. Benih pun yang tanpa sengaja mendapatkan singgasana untuk
membuktikan kefertilannya, segera memecahkan masa dormansi sehingga bisa mengalami
Germination (perkecambahan). Yang akhirnya tumbuh menjadi pohon besar, gagah,
dengan akar mencengkeram bumi, siap mencegah segala bentuk bencana banjir atau
longsor di muka bumi, sekaligus sebagai Nature Wind Break (pemecah angin
alami).
1.3 Badak Indonesia
Badak Indonesia adalah Badak Jawa dan Badak
Sumatera. Dua jenis Badak dari lima jenis yang ada di dunia saat ini. 60
juta tahun lalu terdapat sekitar 30 jenis badak yang menyebar di seantero bumi
ini. Badak Jawa (Javan rhino, Rhinocerus sondaicus) bercula satu (Desmarest, 1822),
sedangkan Badak Sumatera (Sumatran rhino, Dicerorhinus sumatrensis ) bercula dua (Fischer, 1814).
A. Badak
Jawa (Rhinocerus sondaicus)
Badak
jawa termasuk kedalam golongan binatang berkuku ganjil atau Perissodactyla.
Menurut Lekagul & McNelly (1977), badak jawa secara taksonomi dapat
diklasifikasikan kedalam Kingdom Animalia, Phylum Chordata, Sub Phylum
Vertebrata, Super Kelas Gnatostomata, Kelas Mammalia, Super Ordo Mesaxonia,
Ordo Perissodactyla, Super Famili Rhinocerotidea, Famili Rhinocerotidae, Genus
(Rhinoceros Linnaeus, 1758) dan Spesies (Rhinoceros sondaicus,
Desmarest 1822). Menurut Hoogerwerf (1970), panjang kepala badak jawa
mencapai 70 cm dengan rata-rata lebar kaki 27-28 cm, sedangkan menurut Ramono
(1973) ukuran tapak kaki diukur dari kuku-kuku yang paling luar berkisar antara
23/25 – 29/30 cm. Rhinoceros: berasal dari bahasa Yunani yaitu rhino,
berarti “hidung” dan ceros, berarti “cula” , sondaicus merujuk pada kepulauan
Sunda di Indonesia. (Bahasa Latin -icus mengindikasikan lokasi); “Sunda”
berarti “Jawa”.
Γ
Morfologi Badak Jawa (Rhinocerus sondaicus)
Tinggi dari
telapak kaki hingga bahu berkisar antara 168-175 cm. Panjang tubuh dari ujung
moncong hingga ekor 392 cm dan panjang bagian kepala 70 cm. Berat tubuhnya
dapat mencapai 1.280 kg. Tubuhnya tidak berambut kecuali dibagian telinga dan
ekornya. Tubuhnya dibungkus kulit yang tebalnya antara 25-30 mm. Kulit luarnya
mempunyai corak yang mozaik. Lipatan kulit di bawah leher hingga bagian atas
berbatasan dengan bahu. Di atas punggungnya juga terdapat lipatan kulit yang
berbentuk sadel (pelana) dan ada lipatan lain di dekat ekor serta bagian atas
kaki belakang. Badak betina tidak mempunyai cula, Menurut Sody
(1941) dalam Muntasib (2002), cula telah mulai muncul pada anak yang
baru dilahirkan dan bahkan sudah ada pada tahap embrio sekalipun. Individu
betina tidak memiliki cula, tetapi hanya mempunyai benjolan saja yang sering
disebut sebagai ”cula batok”.
Berdasarkan
hasil pengamatan secara visual di lapangan maka badak jawa memiliki bibir atas
yang lebih panjang dari bibir bawah dan berbentuk lancip menyerupai belalai
pendek yang berfungsi untuk merenggut makanan. Selain itu, individu badak jawa
jantan mempunyai cula tunggal yang tumbuh di bagian depan kepala yang sering
disebut sebagai ”cula melati”. Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa panjang
maksimum cula jantan 27 cm dan panjang rata-rata cula jantan dewasa 21 cm. Warna cula
abu-abu gelap atau hitam, warnanya semakin tua semakin gelap, pada pangkalnya
lebih gelap dari pada ujungnya. Individu badak jantan
yang baru berumur kira-kira 11 bulan sudah mempunyai cula sepanjang 5 - 7 cm.
Lekagul
& McNelly (1977) menyatakan bahwa lebar telapak kaki diukur dari sisi
terluar antara 250-300 mm dan mempunyai tiga kuku. Ukuran telapak kaki
mempunyai korelasi positif dengan umur badak jawa (Schenkel & Schenkel- Hulliger
1969).

Γ
Habitat Badak Jawa (Rhinocerus
sondaicus)
Habitat
adalah suatu komunitas biotik atau serangkaian komunitas-komunitas biotik yang
ditempati oleh binatang atau populasi kehidupan. Habitat yang sesuai
menyediakan semua kelengkapan habitat bagi suatu spesies selama musim tertentu
atau sepanjang tahun. Kelengkapan habitat terdiri dari berbagai macam jenis
termasuk makanan, perlindungan, dan faktor-faktor lainnya yang diperlukan oleh
spesies hidupan liar untuk bertahan hidup dan melangsungkan reproduksinya
secara berhasil (Bailey 1984). Habitat satwaliar menyediakan
kebutuhan-kebutuhan yang mendasar seperti: pelindung (cover/shelter), pakan,
air, tempat berkembag biak, dan areal teritori. Teritori merupakan suatu tempat
yang dipertahankan oleh spesies satwaliar tertentu dari gangguan spesies
lainnya. Cover memberikan perlindungan pada satwaliar dari kondisi cuaca yang
ekstrim ataupun predator. Berdasarkan sumber pakannya, satwaliar dapat
diklasifikasikan sebagai herbivora, spermivora (pemakan biji), frugivora
(pemakan buah), karnivora dan sebagainya. Kadang14 kadang kebiasaan makan
individu spesies satwaliar tertentu sangat beragam tergantung pada kesehatan,
umur, musim, habitat dan ketersediaan pakan. Akses spesies satwaliar terhadap
ketersediaan pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kepadatan
populasi, cuaca, kerusakan habitat dan suksesi tumbuhan (Owen 1980 dalam Priyono
2007). Menurut Alikodra (2002), suatu habitat merupakan hasil interaksi dari komponen
fisik dan komponen biotik. Komponen fisik terdiri atas: air, udara, iklim,
topografi, tanah dan ruang; sedangkan komponen biotik terdiri atas: vegetasi,
mikro fauna, makro fauna dan manusia. Jika seluruh keperluan hidup satwaliar
dapat terpenuhi di dalam suatu habitatnya, maka populasi satwaliar tersebut
akan tumbuh dan berkembang sampai terjadi persaingan dengan populasi lainnya. Muntasib
(2002) menyatakan bahwa habitat badak jawa terdiri atas komponen fisik,
biologis dan sosial. Komponen fisik habitat badak jawa adalah ketinggian,
kelerengan, kubangan, dan air (neraca air tanah, kualitas air, ketersediaan
air, kondisi air permukaan). Komponen biologis habitat badak jawa adalah
struktur vegetasi, pakan badak dan satwa besar lain. Badak jawa menyukai daerah
yang rendah yang memanjang di sekitar pantai, rawa-rawa mangrove dan hutan
sekunder. Akan tetapi di daerah perbukitan dan hutan primer jarang sekali ditemukan
jejak badak (Hoogerwerf 1970). Badak Jawa terdapat di daerah barat pulau Jawa
tepatnya di Taman Nasional Ujung Kulon. tempat-tempat yang rimbun dengan semak
dan perdu yang rapat serta menghindari tempat-tempat yang terbuka, terutama
pada siang hari. Hutan teduh dan rapat, seperti halnya formasi langkap disukai
badak untuk bernaung dan berlindung dari kejaran manusia. Daerah jelajah untuk
badak betina diperkirakan sekitar 10-20 km2 dan untuk badak jantan diperkirakan
sekitar 30 km2.
Γ
Populasi Badak Jawa (Rhinocerus sondaicus)
Menurut
Hoogerwerf (1970), pertumbuhan populasi badak jawa mengalami peningkatan sejak
tahun 1937, walaupun kegiatan inventarisasi dan sensus baru dilaksanakan secara
berkesinambungan mulai tahun 1967. Schenkel mulai melakukan sensus populasi
badak jawa pada tahun 1967dan diduga terdapat populasi sebanyak 25 ekor
(Schenkel & Schenkel-Hulliger 1969). Berdasarkan hasil sensus yang
dilakukan mulai tahun 1967 sampai sekarang maka diketahui bahwa pertumbuhan
populasi badak mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sampai tahun 1981,
laju pertumbuhan populasi badak jawa menunjukkan tingkat perkembangan yang
relatif baik karena banyak dijumpai badak muda dan dewasa. Selain itu masih
dijumpai juga 7 induk betina bersama anaknya (Sadjudin 1983).
Di Ujung Kulon populasi badak pada tahun 1937 ditaksir
ada 25 ekor (10 jantan dan 15 betina), dan pada tahun 1955 ada sekitar 30-35
ekor. Pada tahun 1967 di Ujung Kulon pertama kalinya diadakan sensus badak Jawa
yang menyebutkan populasinya ada 21-28 ekor. Turun naiknya populasi badak
selain adanya kelahiran anak, juga dipengaruhi oleh adanya perburuan. Setelah
pengawasan yang ketat terhadap tempat hidup badak, populasi badak Jawa terus
meningkat hingga kira-kira 45 ekor pada tahun 1975. Populasi badak Jawa menurut
hasil sensus sampai tahun 1989 diperkirakan tinggal 52-62 ekor. Sensus pada
Nopember 1999 yang dilaksanakan oleh TNUK (Taman Nasional Ujung Kulon) dan WWF
diperkirakan 47 – 53 ekor.
Sensus populasi badak Jawa yang dilaksanakan oleh
Balai TNUK, WWF – IP dan YMR pada tahun 2001 memperkirakan jumlah populasi
badak berkisar antara 50 – 60 ekor. Sensus terakhir yang dilaksanakan Balai
TNUK tahun 2006 diperkirakan kisaran jumlah populasi badak Jawa adalah 20 – 27
ekor.
Γ
Perilaku Badak Jawa (Rhinocerus sondaicus)
Perilaku
adalah gerak-gerik satwaliar untuk memenuhi rangsangan dalam tubuhnya dengan
memanfaatkan rangsangan yang datang dari lingkungannya. Satwaliar mempunyai
berbagai perilaku dan proses fisiologis untuk menyesuaikan diri dengan keadaan
lingkungannya. Untuk mempertahankan kehidupannya, mereka melakukan
kegiatan-kegiatan yang agresif, melakukan persaingan dan bekerjasama untuk
mendapatkan pakan, pelindung, pasangan untuk kawin, reproduksi dan sebagainya
(Alikodra 2002). Fungsi utama perilaku adalah untuk menyesuaikan diri terhadap
beberapa perubahan keadaan, baik dari luar maupun dari dalam (Tanudimadja 1978 dalam
Alikodra 2002). Satwaliar yang hidup secara berkelompok dapat meningkatkan
kesempatan untuk menemukan sumberdaya habitat, pendeteksian adanya bahaya, dan
untuk menghindarkan atau mempertahankan diri dari predator. Kehidupan secara
sosial ini timbul karena adanya proses pembelajaran tentang kemampuan adaptif
seperti mencari sumber pakan, wilayah jelajah dan rute-rute migrasi. Populasi
satwaliar 10 mempertahankan nilai-nilai adaptif baik perilaku kompetitif dan
kooperatif melalui sistem evolusi sosial, yakni sistem hierarki dan teritorial.
Sistem hierarki dan teritorialisme ini selanjutnya mengendalikan perilaku
agresivitas intraspesifik secara terbatas yang memungkinkan terbentuknya dan
berfungsinya kelompok sosial (Bailey 1984).
1. Perilaku
makan Badak Jawa
Hoogerwerf
(1970) menyatakan bahwa badak jawa adalah salah satu jenis mamalia herbivora
besar dan berdasarkan jenis makanannya dapat digolongkan kedalam jenis satwa browser.
Jenis makanannya adalah pucuk-pucuk daun baik tumbuhan pohon maupun semak
belukar, ranting, kulit kayu dan liana. Diameter cabang yang dimakan bervariasi
antara 10 sampai 17 mm. Diameter pohon yang dicabut dengan akarnya atau dirobohkan
umumnya bervariasi antara 10 - 15 cm. Pada umumnya pohon yang bagian
tumbuhannya diambil oleh badak sebagai makanannya tidak mati melainkan tumbuh
kembali sehingga diduga badak jawa memiliki mekanisme memelihara dan
melestarikan sumber pakannya (Schenkel & Schenkel-Hulliger 1969, Hoogerwerf
1970, Sadjudin & Djaja 1984).
Pohon
dan semak belukar yang roboh seringkali tetap hidup dan tumbuh pucuk-pucuk baru
jika pucuk lama dipatahkan atau tumbuh terus dalam arah mendatar bila
akar-akarnya tercabut. Ini semuanya menjadi tanda khas bagi kehadiran satwa
tersebut selain jejak, kotoran dan lain-lain (Hoogerwerf 1970). Perilaku makan
badak jawa dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor eksternal maupun
internal. Salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku makan adalah
jenis pakan, ketersediaan dan distribusi jenis pakan. Menurut Sadjudin &
Djaja (1984), badak jawa mempunyai beberapa cara untuk mencapai atau meraih
makanannya, yaitu:
1)
Memangkas adalah mengambil makanan dengan cara dipangkas dan biasanya digunakan
untuk mengambil jenis-jenis tumbuhan pakan yang tingginya sesuai dengan jarak
jangkauannya. Cara seperti ini merupakan cara yang paling sering dilakukan oleh
badak jawa.
2)
Menarik adalah mengambil makanan dengan cara ditarik dan biasanya digunakan
untuk mengambil jenis-jenis tumbuhan merambat atau liana dipepohonan.
3)
Melengkungkan adalah mengambil makanan dengan cara dilengkungkan batang
pohonnya menggunakan dada dan biasanya digunakan untuk mengambil jenis-jenis
tumbuhan yang cukup tinggi sehingga sulit untuk dijangkau.
4)
Mematahkan adalah mengambil makanan dengan cara dipatahkan untuk mengambil
sebagian dari tumbuhan seperti daun dan ranking. Cara seperti ini biasanya
dilakukan apabila tumbuhan pakannya merupakan jenis tumbuhan berkayu, baik pada
tingkat pancang maupun tiang.
2. Perilaku
Sosial Badak Jawa
Secara
ekologi badak jawa termasuk satwa yang soliter kecuali pada saat musim kawin,
bunting, dan mengasuh anak. Perilaku sosial umumnya hanya ditunjukkan pada masa
berkembangbiak, yakni sering dijumpai individu badak jawa dalam
kelompok-kelompok kecil yang terdiri atas jantan dan betina atau jantan, betina
dan anak (Schenkel & Schenkel-Hulliger 1969). Lama waktu berkumpul tersebut
sampai saat ini belum banyak diketahui sehingga aktivitas berkelompok sering
diduga berdasarkan dari lama waktu berkumpul badak india, yakni 5 bulan (Gee
1952 dalam Lekagul & McNeely 1977).
3. Perilaku
Kawin Badak Jawa
Menurut
Schenkel & Schenkel-Hulliger (1969), biologi reproduksi badak jawa hampir
mirip dengan badak india (Rhinoceros unicornis). Oleh karena itu sampai
saat ini perilaku kawin badak jawa diduga sama dengan perilaku kawin badak
india. Berdasarkan pengamatan petugas TNUK Bulan perkawinan badak jawa terjadi
pada Agustus dan September. Menurut Gee (1964) dalam Lekagul & McNeely
(1977), masa kawin badak india diduga berkisar antara 46 sampai 48 hari. Periode
menyusui dan memelihara anak berkisar antara 1 sampai 2 tahun dan lama
kebuntingan sekitar 16 bulan. Interval melahirkan adalah satu kali dalam 4-5
tahun dengan jumlah anak yang dilahirkan satu ekor. Badak betina dapat
digolongkan dewasa apabila telah berumur 3 - 4 tahun, sedangkan jantan sekitar
umur 6 tahun. Umur maksimum badak betina mampu menghasilkan keturunan adalah 30
tahun.
4. Perilaku
Berkubang atau Mandi
Berkubang
dan atau mandi merupakan salah satu aktivitas yang sangat penting bagi badak
jawa. Tujuan dari aktivitas ini adalah sebagai sarana untuk beristirahat,
menjaga kesehatan tubuh dari gigitan serangga, menurunkan suhu tubuh, serta
membersihkan tubuh dari kotoran, hama dan penyakit. Aktivitas berkubang dan
atau mandi, baik langsung maupun tidak langsung sangat tergantung pada
ketersediaan air di habitatnya. Oleh karena itu, aktivitas berkubang bagi badak
jawa di TNUK dipengaruhi oleh musim. Pada waktu musim hujan badak jawa relatif
lebih sering melakukan aktivitas berkubang. Hal ini disebabkan ketersediaan air
tawar yang relatif merata di seluruh kawasan Semenanjung Ujung Kulon; sedangkan
aktivitas mandi lebih banyak dilakukan pada waktu musim kemarau. Hoogerwerf
(1970) menyatakan bahwa tempat kubangan tidak hanya berfungsi untuk berkubang,
melainkan juga berfungsi sebagai tempat minum dan membuang air seni. Perilaku
membuang air seni di tempat kubangan ini berfungsi sebagai alat untuk menandai
daerah jelajahnya.
B. Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis)
Badak adalah binatang berkuku ganjil (perrisodactyla), pada tahun
1814, Fischer telah memberi nama marga (genus) Dicerorhinus kepada badak
sumatera.. Secara taksonomi badak Sumatera diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom :
Animalia
Phylum :
Chordata
Sub phylum : Vertebrata
Super kelas : Gnatostomata
Kelas :
Mammalia
Super ordo : Mesaxonia
Ordo :
Perissodactyla
Super famili : Rhinocerotides
Famili :
Rhinocerotidae
Genus :
Dicerorhinus
Spesies :
Dicerorhinus sumatrensis Fischer, 1814
Dicerorhinus berasal dari bahasa
Yunani yaitu Di berarti "dua" dan Cero berarti "cula"
(berarti bercula dua), rhinus berarti "hidung", sumatrensis: merujuk pada Pulau
Sumatera. ((ditambah akhiran ensis
menurut bahasa Latin, berarti lokasi).
Sedangkan dalam bahasa Inggrisnya Badak Sumatera disebut Sumatran Rhino.
v
Morfologi Badak Sumatera (Dicerorhinus
sumatrensis)
Berdasarkan penampilan bentuk tubuh dan rupa (morfologi)nya, badak
Sumatera adalah sebagai berikut :
·
Tinggi badak sumatera diukur
dari telapak kaki sampai bahu antara 120-135 cm, panjang dari mulut sampai
pangkal ekor antara 240-270 cm.
·
Berat tubuhnya dapat
mencapai 909 kg.
·
Tubuhnya tidak berambut kecuali dibagian
telinga dan ekornya.
·
Tubuhnya gemuk dan agak
bulat, kulitnya licin dan berambut jarang, menarik perhatian dengan adanya dua
lipatan kulit yang besar.
·
Lipatan pertama melingkari
pada paha diantara kaki depan, dan lipatan kedua di atas abdomen dan bagian
lateral.
·
Di atas tubuhnya tidak ada lipatan, jadi
lipatan kulit tampak nyata dekat kaki belakang dan lipatan bagian depan dekat
kedua culanya.
·
Cula bagian depan (anterior) di atas ujung dari
moncongnya jauh lebih besar dari cula bagian belakang (pasterior).
·
Badak sumatera merupakan
badak terkecil dan jenis yang paling primitif dari kelima jenis badak yang
masih hidup di dunia.
Ciri-ciri yang
khas dari Badak Sumatera adalah
antara lain mempunyai bibir atas lengkung-mengait kebawah (hooked upped),
bercula 2 (dua), warna kulit coklat kemerahan serta lipatan kulit hanya
terdapat pada pangkal bahu, kaki depan mupun kaki belakang, Kekhasan yang
menonjol dari rhino sumatera daripada jenis rhino lainnya adalah kulitnya yang berambut. Waktu bayi seluruh kulit badannya ditutupi rambut yang
lebat (gondrong) dan semakin jarang seiring dengan bertambahnya usia. Namun
kekhasan lain dari bulu rhino ini adalah rambutnya akan menjadi tumbuh lebat
bila hidup dan berada di daerah yang dingin, sedangkan di daerah yang panas
menjadi pendek. Sebagaimana rhino jawa, rhino sumatera lebih banyak hidup dan
tinggal dalam hutan.
v
Habitat Badak Sumatera (Dicerorhinus
sumatrensis)
Habitat (tempat hidup) badak sumatera adalah pada daerah tergenang
diatas permukaan laut sampai daerah pegunungan yang tinggi (dapat juga mencapai
ketinggian lebih dari 2000 meter di atas permukaan laut). Tempat hidup yang
penting bagi dirinya adalah cukup makanan, air, tempat berteduh dan lebih
menyukai hutan lebat. Pada cuaca yang cerah sering turun ke daerah dataran
rendah, untuk mencari tempat yang kering. Pada cuaca panas ditemukan berada di
hutan-hutan di atas bukit dekat air terjun. Senang makan di daerah hutan
sekunder. Habitat badak sumatera di Gunung Leuser, terbatas pada hutan-hutan
primer pada ketinggian antara 1000-2000 meter diatas permukaan laut. Badak
sumatera merupakan satwa liar yang senang berjalan. Dalam satu harinya, badak
ini dapat menempuh perjalanan sejauh 12 (dua belas) kilometer dalam waktu 20
(dua puluh) jam. Separuh jarak tersebut dilakukan pada malam hari untuk mencari
makan, sedangkan aktifitas di siang hari lebih ditujukan untuk mencari atau
menuju ketempat berkubang atau berendam di sungai-sungai kecil atau rawa-rawa
dangkal. Badak sumatera dewasa dengan berat 800 (delapan ratus) kilogram,
mengkonsumsi rata-rata 50 (lima puluh) kilogram dedaunan dan pepucukan tanaman
yang berasal dari pohon-pohon muda, rerantingan dan cecabangan pohon yang
rendah atau dari semak belukar yang lebat. Jenis badak ini kadang-kadang
memakan batang dari tanaman jahe, rotan dan palem. Untuk memperoleh makanan
sebanyak tersebut diatas, seekor rhino sumatera memerlukan areal hutan dan
semak belukar seluas 5 (lima) sampai 6 (enam) hektar. Dan untuk seekor rhino sumatera
dibutuhkan minimal 700 (tujuh ratus) hektar kawasan hutan dan semak belukar
sebagai wilayah pengembaraannya. Jenis makanan yang
di sukai badak sumatera kebanyakan di temukan di daerah perbukitan, berupa
tumbuhan semak dan pohon-pohonan. Merumput tidak dilakukan kecuali untuk
jenis-jenis bambu seperti Melocana bambusoides.
Terdapat
102 jenis tanaman dalam 44 familia tanaman yang disukai badak sumatera.
Sebanyak 82 jenis tanaman dimakan daunnya, 17 jenis dimakan buahnya, 7 jenis dimakan
kulit dan batang mudanya dan 2 jenis dimakan bunganya. Tanaman yang mengandung
getah lebih disukai seperti daun manan (Urophylum spp) yang tumbuh di tepi
bukit. Daun nangka (Artocarpus integra) juga kegemarannya., lainnya seperti
Bunga dari tenglan (Saraca spp) dan lateks dari jenis tanaman rengas
(Melanorhea spp) merupakan pakan badak ini.
v
Populasi Badak Sumatera (Dicerorhinus
sumatrensis)
Populasi adalah
suatu kelompok suatu jenis satwa yang
hidup pada wilayah tempat hidup tertentu, misalnya Populasi Harimau
Sumatera di kawasan hutan TN Bukit Barisan Selatan-Sumatera. Berdasarkan Analisa Viabilitas Populasi dan
Habitat (PHVA) Badak Sumatera tahun 1993, populasi badak Sumatera di Sumatra
berkisar antara 215 -319 ekor atau turun sekitar 50% dalam kurun waktu 10 tahun
terakhir. Sebelumnya populasi badak Sumatera di pulau Sumatera berkisar antar
400-700 ekor. Sebagian besar terdapat di wilayah Gunung Kerinci Seblat (250-500
ekor), Gunung Leuser (130-250 ekor) dan Bukit Barisan Selatan (25-60 ekor).
Sebagian yang lainnya tidak diketahui jumlahnya terdapat di wilayah Gunung
Patah, Gunung Abong-Abong, Lesten-Lokop, Torgamba dan Berbak. Di Kalimantan
satu kelompok populasi tersebar di wilayah Serawak, Sabah dan wilayah tengah
Kalimantan. Di Malaysia jumlah populasi badak Sumatera diperkirakan berkisar
antara 67-109 ekor. Menurut IUCN/SSC - African and Asian Rhino Specialist Group
Maret 2001, jumlah populasi badak Sumatera berkisar kurang lebih 300 ekor dan
tersebar di Sumatra dan Borneo yaitu Malaya/Sumatra Sumatran Rhino ~ 250 ekor
dan Borneo Sumatran Rhino ~ 50 ekor. Taksiran jumlah populasi badak Sumatera
menurut Program Konservasi Badak Indonesia tahun 2001 di wilayah kerja RPU
adalah sebagai berikut: TNKS 5 - 7 ekor dengan kerapatan (density) 2500 - 3500
ha per ekor badak, TNBBS 60 - 85 dengan kerapatan 850 - 1200 ha per ekor badak,
TNWK 30 - 40 ekor dengan kerapatan 700 - 1000 ha per ekor badak. Observasi
Lapangan tahun 1997 s/d 2004, RPU - PKBI memperkirakan jumlah populasi badak
Sumatera di TNBBS berkisar antara 60 - 85 ekor. Sementara di TNWK berkisar
antara 15 - 25 ekor. Data RPU Yayasan Leuser tahun 2004 (dalam Outline Strategi
Konservasi Badak Indonesia 2005) menunjukkan jumlah populasi badak Sumatera di
lokasi survey RPU berkisar antara 60 - 80 ekor. Berbeda dengan badak jawa,
badak ini ada yang hidup dalam habitat buatan (eksitu) atau disebut juga
penangkaran. Sepuluh lokasi penangkaran badak sumatera yang terdapat di dalam
dan luar negeri, yaitu 3 (tiga) lokasi di Indonesia, 1 (satu) lokasi di
Inggris, 3 (tiga) lokasi di Malaysia dan 3 (tiga) lokasi di Amerika Serikat.
Berdasarkan catatan yang bersumber dari Taman Safari Indonesia tahun 1994, dari
39 (tiga puluh sembilan) rhino yang hidup dalam 10 (sepuluh) lokasi penangkaran
sekarang tinggal 23 (dua puluh tiga) ekor saja dengan rincian dapat dilihat
dalam tabel 1 dibawah. Sedangkan menurut catatan terakhir data yang dikeluarkan
oleh Sumatran Rhino Sanctuary (SRS) sekarang hanya ada 14 (empat belas) ekor
saja. Kematian yang tinggi di luar habitat alaminya ini disebabkan sifat rhino
sumatera yang sangat peka terhadap perubahan situasi dan kondisi tempat
hidupnya (dalam hal ini stress berat dan sulit mencari atau mengganti jenis
pakannya).
Namun ada harapan dan kabar yang cukup menggembirakan diperoleh
dari sepasang Badak Sumatera yang hidup di penangkaran Kebun Binatang
Cincinnati Amerika Serikat, yaitu dari pasangan jantan bernama Ipuh dan betina
bernama Andalas telah menghasilkan seekor bayi badak yang diberi nama ” Emi
”.
v Penyebaran Badak Sumatera
Pada kehidupan awalnya, rhino sumatera memiliki daerah penyebaran
yang cukup luas, yaitu meliputi Kalimantan, Sumatera, Semenanjung Malaysia,
Burma, Kambodya sampai dengan Vietnam. Namun akibat perburuan yang berlangsung
terus menerus sejak masa lalu hingga sekarang, maka penyebaran di habitat
alamnya menjadi terbatas di pulau Sumatera dan Semenanjung Malaysia saja,
Sedangkan di Kalimantan dalam beberapa tahun belakangan tidak pernah dijumpai
lagi. Jumlah populasi rhino sumatera di kawasan hutan habitat alaminya
diperkirakan kurang dari 200 (dua ratus) ekor, dan sebagian besar berada di
Sumatera. Di Indonesia penyebaran rhino pada habitat alamnya terdapat dalam
kawasan hutan TN Gunung Leuser (Provinsi Nangru Aceh Darusallam), TN Kerinci
Seblat (Provinsi Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu dan Sumatera Selatan), TN
Bukit Barisan Selatan (Provinsi Bengkulu) dan TN Way Kambas (Provinsi Lampung).
v Perilaku Badak Sumatera
Sebagaimana sepupunya badak jawa, badak sumatera senang berkubang
atau berendam dalam Lumpur. Kubangan badak ini umumnya ditemukan pada daerah
yang datar dengan panjang antara 2 (dua) sampai dengan 3 (tiga) meter.
Mengingat kebiasaan berkubang ini sangat penting bagi badak sumatera, apabila
tidak menjumpai tempat kubangan maka dia akan pergi mencari tanah-tanah yang
becek/berair dibawah pohon-pohon yang besar. Dengan mempergunakan cula dan
kakinya, dia mecongkeli tanah tersebut hingga menjadi bubur tanah yang lembut,
kemudian berguling-guling diatasnya. Dalam beberapa tahun kemudian,
berangsur-angsur tempat tersebut akan berubah menjadi tempat kubangan yang baru
yang panjangnya dapat mencapai lebih dari 5 (lima) meter didekat akar-akar
pohon besar didalam hutan. Kedalaman kubangan tersebut dapat mencapai 1 (satu)
meter, lebar antara 2 (dua) sampai 3 (tiga) meter dan ketebalan lumpurnya
antara 50 (lima puluh) sampai 70 (tujuh puluh) sentimeter.
ΓΌ Perilaku Kawin Badak Sumatera
Badak sumatera juga bersifat pendiam dan soliter atau menyendiri,
bergerak diam-diam menjelajahi tempat-tempat yang menjadi wilayah
pengembaraannya masing-masing. Belum pernah ditemukan sang badak berkelahi
untuk memperebutkan wilayah pengembaraannya. Demikian pula dengan satwa lain,
jarang sekali dijumpai perkelahian badak ini dengan jenis satwa lainnya. Bila
mendeteksi melalui indera penciumannya yang tajam ada bau jenis satwa lain yang
dapat menjadi ancaman bagi dirinya seperti harimau sumatera, gajah sumatera
maupun manusia, maka dia akan segera lari menghindar kedalam hutan atau semak
belukar yang lebat dengan arah yang berlawanan dari tempat datangnya ancaman.
Dewasa kelamin bagi badak sumatera dimulai pada saat usianya mencapai 7 (tujuh)
atau 8 (delapan) tahun dengan batas usia dapat mencapai 32 tahun. Sedangkan
perilaku perkawinan badak ini tidak berbeda dengan badak jawa. Masa kehamilan
badak sumatera berkisar antara 16 (enam belas) sampai 18 (delapan belas) bulan.
Anak rhino yang lahir akan hidup dan tinggal bersama induknya hingga mencapai
usia 7 (tujuh) tahun. Seperti badak
jawa, induk rhino sumatera akan dapat bereproduksi kembali apabila sang anak
telah mencapai usia lebih 4 (empat) tahun,
Badak sumatera juga dikatagorikan sebagai satwa langka dilindungi
yang menuju kepunahan (sama dengan rhino jawa dan harimau sumatera). Hal ini
dapat kita maklumi, karena jumlah populasi di habitat alamnya belum diketahui
secara pasti, yaitu baru diperkirakan kurang dari 200 (dua ratus) ekor saja.
Demikian halnya, jumlah populasi pada habitat alam dari setiap kawasan hutan 4
(empat) Taman Nasional di Sumatera belum diperoleh data yang akurat
(pasti/tepat). Upaya penyelamatan dengan pengembangbiakan melalui habitat
buatan atau penangkaran yang telah dilakukan selama 23 (dua puluh tiga) tahun
sejak tahun 1985 sampai sekarang, masih menunjukan tanda-tanda yang
mengkhawatirkan. Dari 10 (sepuluh) penangkaran eksitu dan 1 (satu) penangkaran
semi insitu (SRS-TN Way Kambas) baru memperoleh 1 (satu) kelahiran anak badak
di Cincinnati Zoo-USA, Terlebih data yang ada menunjukkan kematian di
penangkaran jauh lebih besar dari kelahiran. Penjelasan tentang
kegiatan-kegiatan untuk penyelamatan rhino ini akan diuraikan dalam upaya
penyelamatan badak Indonesia.
Strange "water hack" burns 2 lbs in your sleep
BalasHapusMore than 160,000 women and men are using a simple and SECRET "liquid hack" to drop 1-2lbs each night as they sleep.
It's very simple and it works on anybody.
Here are the easy steps for this hack:
1) Take a drinking glass and fill it up with water half the way
2) Then learn this crazy HACK
so you'll be 1-2lbs skinnier as soon as tomorrow!
Your Affiliate Money Making Machine is ready -
BalasHapusAnd making money online using it is as easy as 1..2..3!
Here is how it all works...
STEP 1. Tell the system what affiliate products the system will promote
STEP 2. Add some push button traffic (it LITERALLY takes 2 minutes)
STEP 3. See how the affiliate products system grow your list and sell your affiliate products on it's own!
Are you ready to make money ONLINE???
Click here to launch the system